Urban legend ini sangat populer pada tahun 90-an di Jepang.
Banyak remaja Jepang yang mempercayai kebenaran cerita ini
sehingga tak berani menindik telinganya.
Kisahnya bermula ketika seorang gadis seumuran SMP merengek
ada orang tuanya untuk mengizinkannya menindik telinganya. Ia berkata bahwa
semua anak perempuan di kelasnya sudah menindik telinganya, hanya ia saja yang
belum.
Kedua orang tuanya awalnya tak mengizinkan. Namun karena
sang gadis merengek terus-menerus, merekapun akhirnya mengizinkannya. Orang tua
gadis itu lalu memberinya sejumlah uang dan menyuruh gadis itu untuk menindik
telinganya di toko perhiasan yang terpercaya di sebuah mall dekat rumah mereka.
Namun sang gadis berpikiran lain.
Ia hendak menyimpan uang pemberian orang tuanya dan
memutuskan untuk menindik telinganya sendiri. Iapun meminta sahabatnya untuk
membantunya menindik telinganya. Mereka menggunakan jarum yang dipanaskan dan
kemudian ditusukkan ke kedua cuping telinga gadis itu. Dia merasa sangat
kesakitan, namun begitu melihat hasilnya, ia sangat puas. Ia kini bisa memakai
anting-anting pilihannya dan tampil penuh gaya seperti gadis-gadis lain di
sekolahnya.
Namun keesokan harinya ada yang aneh.
Ia terbangun di pagi hari karena rasa gatal yang teramat
sangat di telinganya. Rupanya cuping telinga yang ia tindik terlihat merah dan
meradang.
Tak hanya itu.
Tampak seutas benang putih kecil menjulur dari lubang yang
ia buat kemarin di cuping telinganya.
Merasa penasaran, ia menarik benang itu.
Benang itu sangat halus dan panjang. Ia menariknya
terus-menerus, namun seakan-akan benang itu tak ada habis-habisnya.
Merasa tak sabar, gadis itu mengambil gunting dan memotong
benang putih itu.
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Ia histeris dan memanggil kedua orang tuanya.
Orang tuanya yang panik segera membawanya ke rumah sakit.
“Mengapa kau bisa jadi begini?” tanya sang dokter yang
memeriksanya.
Sang gadis kemudian menceritakan segalanya.
Sang dokter menjawab dengan suara sedih, “Maaf, tapi harus
kukatakan bahwa kau akan mengalami hal ini seumur hidupmu.”
“Kenapa?” tanya gadis itu, tercekat.
“Benang putih yang kau potong itu bukan sembarang benang
putih.”
“Benang apa itu?” tanya gadis itu, putus asa.
“Itu saraf matamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar